Reksadana Syariah

Pasar Modal Syariah (bag 1)

Sejarah Singkat Industri Syariah
Sejarah perkembangan industri keuangan syariah yang meliputi perbankan, asuransi dan pasar modal pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah yang sangat panjang. Lahirnya Agama Islam sekitar 15 (lima belas) abad yang lalu meletakkan dasar penerapan prinsip syariah dalam industri keuangan, karena di dalam Islam dikenal kaedah muamalah yang merupakan kaedah hukum atas hubungan antara manusia yang di dalamnya termasuk hubungan perdagangan dalam arti yang luas. Namun demikian, perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami masa surut selama kurun waktu yang relatif lama pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa tersebut negara-negara di Timur Tengah serta negara-negara Islam lain hampir semuanya menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan banyaknya negara Islam yang terbebas dari penjajahan dan semakin terdidiknya generasi muda Islam, maka ajaran Islam mulai meraih masa kebangkitan kembali. Sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan moslem dari negara-negara Islam sudah mulai melakukan pengkajian ulang atas penerapan sistem hukum Eropa kedalam industri keuangan dan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah Islam dalam industri keuangannya.

Pada awalnya prinsip syariah islam diterapkan pada industri perbankan dan Cairo adalah merupakan negara yang pertamakali mendirikan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama “Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil (tanpa riba). Berdirinya Nasser Social Bank tersebut, kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB) dan the Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Kuwait Finance House tahun 1977.

Selanjutnya penerapan prinsip syariah pada sektor di luar industri perbankan, juga telah dijalankan pada industri asuransi (takaful) dan industri Pasar Modal (Pasar Modal Syariah). Pada industri Pasar Modal, prinsip syariah telah diterapkan pada instrumen obligasi, saham dan fund (Reksa Dana). Adapun negara yang pertama kali mengintrodusir untuk mengimplementasikan prinsip syariah di sektor pasar modal adalah “Jordan dan Pakistan”, dan kedua negara tersebut juga telah menyusun dasar hukum penerbitan obligasi syariah. Selanjutnya pada tahun 1978, pemerintah Jordan melalui Law Nomor 13 tahun 1978 telah mengijinkan Jordan Islamic Bank untuk menerbitkan Muqaradah Bond. Ijin penerbitan Muqaradah Bond ini kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Muqaradah Bond Act pada tahun 1981. Sementara pemerintah Pakistan, baru pada tahun 1980 menerbitkan the Madarabas Company dan Madarabas Ordinance.

Secara umum, penerapan prinsip syariah dalam industri pasar modal khususnya pada instrumen saham dilakukan berdasarkan penilaian atas saham yang diterbitkan oleh masing-masing perusahaan, karena instrumen saham secara natural telah sesuai dengan prinsip syariah mengingat sifat saham dimaksud bersifat penyertaan. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikatergorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam, seperti :

1.
Alkohol;
2. Perjudian;
3. Produksi yang bahan bakunya berasal dari babi;
4. Pornografi;
5. Jasa keuangan yang bersifat konvensional;
6. Asuransi yang bersifat konvensional.

Gambaran Pasar Modal Syariah di Indonesia
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Harus dipahami bahwa ditengah maraknya pertumbuhan kegiatan ekonomi syariah secara umum di Indonesia, perkembangan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia masih dianggap belum mengalami kemajuan yang cukup signifikan, meskipun kegiatan investasi syariah tersebut telah dimulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997 melalui instrumen reksa dana syariah serta sejumlah fatwa DSN-MUI berkaitan dengan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia.

Dilihat dari kenyataannya, walaupun sebagian besar penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam namun perkembangan pasar modal yang berbasis syariah dapat dikatakan sangat tertinggal jauh terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah bisa dikatakan telah menjadi pusat investasi berbasis syariah di dunia, karena telah menerapkan beberapa instrumen keuangan syariah untuk industri pasar modalnya. Kenyataan lain yang dihadapi oleh pasar modal syariah kita hingga saat ini adalah minimnya jumlah pemodal yang melakukan investasi, terutama jika dibandingkan dengan jumlah pemodal yang ada pada sektor perbankan.

Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, Indonesia terlihat begitu tertinggal jauh dalam mengembangkan kegiatan investasi syariah di pasar modal. Malaysia pertama kali mengembangkan kegiatan pasar modal syariah sejak awal tahun 1990 dan saat ini terus mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sebagai contoh, data menunjukkan hingga akhir tahun 2004 total Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana Syariah mencapai 7,7% (tujuh koma tujuh perseratus) dari total NAB industri Reksa Dana di Malaysia, sedangkan Indonesia baru mencapai 0,51% (nol koma lima puluh satu per seratus) dari total NAB industri reksa dana.

Untuk obligasi syariah, di Malaysia hingga akhir tahun 2004 mencapai kenaikan 31,69% dari total nilai obligasi yang tercatat di pasar modal Malaysia, sementara di Indonesia hingga akhir Desember 2004 baru mencapai Rp. 1.424 Triliun atau 1,72% dari total nilai emisi obligasi di Indonesia pada tahun yang sama yaitu sebesar Rp. 83.005,345 Triliun.

Pada sisi lain, harus diakui bahwa masih terdapat beberapa permasalahan mendasar yang menjadi kendala berkembangnya pasar modal yang berprinsip syariah di Indonesia. Kendala-kendala dimaksud diantaranya adalah selain masih belum meratanya pemahaman dan atau pengetahuan masyarakat Indonesia tentang investasi di pasar modal yang berbasis syariah, juga belum ditunjangnya dengan peraturan yang memadai tentang investasi syariah di pasar modal Indonesia serta adanya anggapan bahwa untuk melakukan investasi di pasar modal syariah dibutuhkan biaya yang relatif lebih mahal apabila dibandingkan dengan investasi pada sektor keuangan lainnya.

(bersambung.....)
=============================

Pasar Modal Syariah (bag 2)

Hal-hal lain yang dianggap bisa mempengaruhi perkembangan Pasar Modal Syariah diantaranya adalah : perkembangan jenis instrumen pasar modal syariah yang dikuatkan dengan fatwa DSN — MUI, perkembangan transaksi sesuai syariah atas instrumen pasar modal syariah; dan perkembangan kelembagaan yang memantau macam dan transaksi pasar modal syariah (termasuk Bapepam Syariah, Lembaga Pemeringkat Efek Syariah dan Dewan Pengawas Islamic Market/Index). Keberadaan pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor terpenting dalam ikut membangung perekonomian nasional, terbukti telah banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Secara faktual, pasar modal telah menjadi financial nerve centre (saraf finansial dunia) pada dunia ekonomi modern dewasa ini, bahkan perekonomian modern tidak akan mungkin bisa eksis tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan berdaya saing global serta terorganisir dengan baik.

Bangkitnya ekonomi Islam di Indonesia dewasa ini menjadi fenomena yang menarik dan menggembirakan terutama bagi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Praktek kegiatan ekonomi konvensional, khususnya dalam kegiatan pasar modal yang mengandung unsur spekulasi sebagai salah satu komponennya nampaknya masih menjadi hambatan psikologis bagi umat Islam untuk turut aktif dalam kegiatan investasi terutama di bidang pasar modal, sekalipun berlabel syariah.

Perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Secara umum konsep pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep pasar modal syariah disebutkan bahwa saham yang iperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.

Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar syariah. Dengan semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, disamping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah merupakan sebuah negara dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, oleh karena itu sektor industri pasar modal diharapkan bisa mengakomodir dan sekaligus melibatkan peranserta warga muslim dimaksud secara langsung untuk ikut aktif menjadi pelaku utama pasar, tentunya adalah sebagai investor lokal di pasar modal Indonesia. Sebagai upaya dalam merealisasikan hal tersebut, maka sudah sewajarnya disediakan dan dikembangkan produk-produk investasi di pasar modal Indonesia yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran agama Islam. Hal tersebut di atas menjadi penting mengingat masih adanya anggapan di kalangan umat Islam sendiri bahwa berinvestasi di sektor pasar modal di satu sisi adalah merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan (diharamkan) berdasarkan ajaran Islam, sementara pada sisi yang lain bahwa Indonesia juga perlu memperhatikan serta menarik minat investor mancanegara untuk berinvestsi di pasar modal Indonesia. terutama investor dari negara-negara Timur Tengah yang diyakini merupakan investor potensial.

Dalam ajaran Islam, bahwa kegiatan berinvestasi dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang sekaligus kegiatan tersebut termasuk kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengartur hubungan antar manusia. Sementara itu berdasarkan kaidah Fikih, bahwa hukum asal dari kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yaitu semua kegiatan dalam pola hubungan antar manusia adalah mubah (boleh) kecuali yang jelas ada larangannya (haram). Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang kegiatan tersebut baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari Al Qur’an dan Hadist yang melarangnya secara implisit maupun eksplisit.

Dalam beberapa literatur Islam klasik memang tidak ditemukan adanya terminologi investasi maupun pasar modal, akan tetapi sebagai suatu kegiatan ekonomi, kegiatan tersebut dapat diketegorikan sebagai kegiatan jual beli (al Bay).

Oleh karena itu untuk mengetahui apakah kegiatan investasi di pasar modal merupakan sesuatu yang dibolehkan atau tidak menurut ajaran Islam, kita perlu mengetahui hal-hal yang dilarang/ diharamkan oleh ajaran Islam dalam hubungan jual beli.

Perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia
Perkembangan pasar modal syariah di Indonesia secara umum ditandai oleh berbagai indikator diantaranya adalah semakin maraknya para pelaku pasar modal syariah yang mengeluarkan efek-efek syariah selain saham-saham dalam Jakarta Islamic Index (JII). Dalam perjalanannya perkembangan pasar modal syariah di Indonesia telah mengalami kemajuan, sebagai gambaran bahwa setidaknya terdapat beberapa perkembangan dan kemajuan pasar modal syariah yang patut dicatat hingga tahun 2004, diantaranya adalah telah diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah :

1. No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham
2. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah
3. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
4. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5. No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6. No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

Fatwa-fatwa tersebut di atas mengatur prinsip-prinsip syariah di bidang pasar
modal yang meliputi bahwa suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip
syariah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian syariah secara tertulis dari
DSN-MUI. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh sertifikat/ predikat syariah dari DSN-MUI yaitu bahwa calon emiten terlebih dahulu harus mempresentasikan terutama struktur bagi hasilnya dengan nasabah/ investor,
struktur transaksinya, bentuk perjanjiannya seperti perjanjian perwali amanatan dll.

Perkembangan di lantai Bursa
Perkembangan transaksi saham syariah di Bursa Efek Jakarta bisa digambarkan bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ No. Peng-499/BEJDAG/ U/12-2004 tanggal 28 Desember 2004, bahwa daftar nama saham tercatat yang masuk dalam perhitungan Jakarta Islamic Index (JII) untuk periode 3 Januari 2005 s.d Juni 2005 adalah sebagai berikut :

Anggota JII Periode Januari s.d. Juni 2005
No Nama Emiten No Nama Emiten
1. Astra Agro Lestari
2. Adhi Karya (persero)
3. Aneka Tambang (Persero)
4. Bakrie & Brothers
5. Barito Pacific Timber
6. Bumi Resources
7. Ciputra Development
8. Energi Mega Persada
9. Gajah Tunggal
10. International Nickel Ind
11. Indofood Sukses Makmur
12. Indah Kiat Pulp & Paper
13. Indocement Tunggal Prakasa
14. Indosat
15. Kawasan Industri Jababeka
16. Kalbe Farma
17. Limas Stokhomindo
18. London Sumatera
19. Medco Energi International
20. Multipolar
21. Perusahaan Gas Negara (Persero)
22. Tambang Batu Bara Bukit Asam
23. Semen Cibinong
24. Semen Gresik (Persero)
25. Timah
26. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
27. Telekomunikasi Indonesia
28. Tempo Scan Pacific
29. United Tractors
30. Unilever Indonesia

Adapun kinerja saham-saham syariah yang terdaftar dalam Jakarta Islamic Index (JII) dimaksud juga mengalami perkembangan yang cukup baik, hal ini terlihat dari kenaikan index JII sebesar 37,90% dari 118,952 pada akhir tahun 2003 menjadi 164,029 pada penutupan akhir tahun 2004. Begitu pula nilai kapitalisasi saham-saham syariah yang terdaftar dalam JII juga meningkat signifikan sebesar 48,42% yaitu dari Rp.177,78 Triliun pada akhir Desember 2003 menjadi Rp.263,86 Triliun pada penutupan akhir Desember 2004

(bersambung.....)

========================================

Pasar Modal Syariah (bag 3)

Perkembangan Obligasi Syariah
Salah satu indikasi pertumbuhan dan perkembangan obligasi syariah pada akhir-akhir ini dapat dilihat dari maraknya penawaran umum perdana obligasi syariah dengan akad Ijarah. Sebagai gambaran bahwa sampai dengan akhir tahun 2003 hanya terdapat 6 (enam) emiten yang menawarkan obligasi syariah di pasar modal Indonesia dengan total nilai emisi sebesar Rp 740 Milyar, sedangkan pada tahun 2004 ada penambahan sebanyak 7 (tujuh) emiten baru yang telah mendapatkan pernyataan efektif dari Bapepam. Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun 2004 secara kumulatif terdapat 13 (tiga belas) emiten yang menawarkan obligasi syariah atau meningkat sebesar 116,67% jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya ada 6 (enam) emiten obligasi.

Perkembangan selanjutnya adalah ditandai dengan meningkatnya nilai emisi obligasi syariah di pasar modal Indonesia, seperti diketahui bahwa nilai emisi obligasi syariah pada akhir tahun 2003 baru mencapai sebesar Rp 740 Milyar sedangkan nilai emisi obligasi yang sama pada akhir tahun 2004 mencapai Rp 1.424 Triliun yang berarti ada peningkatan sebesar 92,43%, namun jika dibandingkan dengan total nilai emisi obligasi di pasar modal Indonesia di tahun 2004 secara keseluruhan yaitu sebesar Rp. 83.005,349 Triliun, maka prosentasenya masih terlalu kecil yaitu baru mencapai 1,72%.

Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, "Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo". Sebagai tindak lanjut atas fatwa di atas, pada Oktober 2002 PT. Indosat Tbk telah mengeluarkan obigasi syariah yang pertama kali di pasar modal Indonesia dengan tingkat imbal hasil 16,75 %, suatu tingkat imbal hasil (return) yang cukup tinggi jika dibanding rata return obligasi dengan prinsip riba/konvensional.

Perkembangan Reksadana Syariah
Secara umum pertumbuhan dan perkembangan Reksadana syariah mengalami kenaikan cukup pesat. Hal ini terlihat dari data statistik bahwa sampai dengan tahun 2003 hanya ada 3 (tiga) reksa dana syariah dimana 1 (satu) diantaranya efektif pada tahun yang sama, sedangkan pada tahun 2004 terdapat sebanyak 7 (tujuh) reksa dana syariah baru dinyatakan efektif, sehingga sampai dengan akhir tahun 2004 secara kumulatif terdapat 10 (sepuluh) reksa dana syariah telah ditawarkan kepada masyarakat atau meningkat sebesar 233,33 % jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya terdapat 3 (tiga) reksa dana syariah dengan total Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebesar Rp 168.110,17 Milyar. Harus diakui bahwa sampai dengan akhir tahun 2004, total (NAB) reksa dana syariah baru mencapai Rp. 525.970,10 Milyar (0,51%) dari total NAB industri reksa dana di pasar modal Indonesia yaitu sebesar Rp. 104.037.824,63 Trilyun. Namun jika dibandingkan dengan NAB reksadana syariah sampai dengan tahun 2003, maka terlihat meningkat sebesar 312,872% yaitu dari Rp 168.110,17 Milyar (Rp.73.984,22 + Rp. 94.125,95) pada akhir tahun 2003 menjadi Rp. 525.970,10 Milyar pada akhir tahun 2004.

Syariah di pasar modal jangan hanya sekedar label
Sejak konsep syariah diintroduksi ke dalam industri pasar modal beberapa tahun yang lalu, setidaknya masyarakat selaku investor mempunyai alternatif untuk berinvestasi ke industri dan instrumen yang diyakini memiliki nilai kehalalan, mengingat bahwa sebelum instrument/ produk dimaksud diluncurkan harus terlebih dahulu mendapat sertifikat dari DSN-MUI. Bagi umat islam yang teguh menerapkan prinsip syariah dalam berbagai aspek kehidupannya, sudah barang tentu akan memilih instrumen investasi yang berbasis syariah. Pertimbangan untuk
menerbitkan instrument syariah oleh emiten dirasakan cukup rasional, mengingat bahwa instrument syariah tidak mengacu pada bunga yang flat atau fluktuatif yang sangat tergantung pada kondisi moneter pada suatu Negara. Artinya bahwa bila suatu perusahaan mengalami kondisi keuangan yang kurang baik, maka yield yang diberikan kepada nasabah/ pemegang saham juga disesuaikan dengan kondisinya, sehingga perusahaan tidak terlalu khawatir memikirkan untuk menanggung resiko secara berlebihan.

Adapun yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, apakah dengan telah mendapatkan label halal dari DSN-MUI akan secara otomatis menjadikan instrument tersebut dalam prakteknya sehari-hari terbebas dari unsur ribawi atau unsur lain yang bertentangan dengan syariah islam ?, mengingat sejauhmana DSN MUI punya otoritas untuk mengawasi day to day emiten-emiten yang sudah mengeluarkan produk syariah dan barangkali Bapepam sekalipun merasa sulit untuk melakukan pengawasan dimaksud. Selama ini investor/ nasabah pasar modal syariah
memang merasa sulit untuk mengawasi apakah prinsip syariah memang telah diimplementasikan sepenuhnya dalam praktek sehari-hari oleh perusahaan yang menerbitkan instrument syariah. Pengawasan terhadap perusahaan yang telah menerbitkan efek syariah memang menjadi hal yang krusial untuk memastikan bahwa istilah syariah tidak hanya sekedar label belaka, melainkan memang harus menjiwai setiap kegiatan perusahaan tersebut.

Ditengah-tengan maraknya instrument investasi yang berlabel syariah, perlu dicermati pula bahwa minimnya aturan-aturan hukum yang memayungi setiap kegiatan dan atau transaksi syariah di pasar modal juga dirasakan sebagai ketidakjelasan aspek perlindungan terhadap para investor atau nasabah pasar modal syariah.

Hal lain yang dirasakan cukup membantu dalam memajukan investasi syariah di pasar modal antara lain, perlunya diwajibkan bagi setiap emiten yang menerbitkan instrument syariah untuk membentuk dan atau memiliki Syariah Compliance Officer (SCO) yang sudah barang tentu kriterianya adalah seseorang yang telah memiliki pemahaman kesyariahan di pasar modal dan yang telah mendapatkan sertifikasi dari DSN-MUI.

Tekad Bapepam mendukung pasar modal syariah
Sebagai upaya dalam menjawab tantangan yang semakin besar dimasa yang akan datang terutama dalam rangka mengembangkan pasar modal syariah di Indonesia maka secara konkrit Bapepam telah mulai mewujudkan hal dimaksud yaitu pada bulan Oktober 2004 yang lalu Bapepam secara resmi telah membentuk unit khusus setingkat Eselon IV yang membawahi pengembangan kebijakan pasar modal syariah di pasar modal Indonesia. Mudah-mudahan dengan telah terbentuknya unit khusus tersebut, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lahir landasan hukum pasar modal syariah dari Bapepam yang sudah barang tentu hal itu
ditunggu-tunggu oleh semua pelaku pasar modal di Indonesia, disamping itu bahwa landasan hukum dimaksud tentunya juga akan dipakai sebagai acuan yang sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi pelaku pasar modal syariah di Indonesia.

Harapan penulis mudah-mudahan setelah melihat dan mencermati perkembangan serta pertumbuhan pasar modal syariah di Indonesia, Bapepam akan semakin meningkatkan peranannya selaku otoritas pasar modal dan bila kondisi sudah memungkinkan tentunya status unit khusus yang menangani pasar modal syariah di Bapepam selanjutnya perlu disesuaikan dengan membentuk suatu unit atau bagian khusus setingkat Eselon III yang membawahi pengembangan kebijakan pasar modal syariah di Indonesia.

Penulis: Ngapon (Staf Bagian Riset Bapepam)